Judul: The Geography of Bliss
Penulis: Eric Weiner
Penerjemah: M. Rudi Atmoko
Penerbit: Qanita (November 2011)
Tebal: 512 hlm
***
Sungguh mati, Eric
Weiner ingin melihat dunia, terutama dengan dana dari pihak lain. Maka
ia menjadi jurnalis, membawa tas punggung dan buku catatannya, lalu
menjelajahi dunia. Hasilnya adalah buku The Geography of Bliss ini. Ia
membawa pembaca melanglangbuana ke berbagai negara, dari Belanda, Swiss,
Bhutan, hingga Qatar, Islandia, India, dan Amerika ... untuk mencari
tahu apa yang membuat orang-orang di sana bahagia atau murung. Buku ini
adalah campuran aneh tulisan perjalanan, psikologi, sains, dan humor.
Apakah orang-orang di Swiss lebih bahagia karena negara mereka paling demokratis di dunia? Apakah penduduk Qatar menemukan kebahagiaan di tengah gelimang dolar dari minyak mereka? Apakah Raja Bhutan seorang pengkhayal karena berinisiatif memakai indikator kebahagiaan rakyat yang disebut Gross National Happiness sebagai prioritas nasional? Kenapa penduduk di Islandia, yang suhunya sangat dingin dan jauh dari mana-mana, termasuk negara yang warganya paling bahagia di dunia? Kenapa di India kebahagiaan dan kesengsaraan bisa hidup berdampingan?
Apakah orang-orang di Swiss lebih bahagia karena negara mereka paling demokratis di dunia? Apakah penduduk Qatar menemukan kebahagiaan di tengah gelimang dolar dari minyak mereka? Apakah Raja Bhutan seorang pengkhayal karena berinisiatif memakai indikator kebahagiaan rakyat yang disebut Gross National Happiness sebagai prioritas nasional? Kenapa penduduk di Islandia, yang suhunya sangat dingin dan jauh dari mana-mana, termasuk negara yang warganya paling bahagia di dunia? Kenapa di India kebahagiaan dan kesengsaraan bisa hidup berdampingan?
***
Setelah membaca lebih dari 500 halaman, pada akhirnya, saya merasa bahwa sebenarnya inti dari Geography of Bliss bisa digambarkan melalui dua paragraf berikut:
"Extroverts are happier than introverts; optimists are happier than pessimists; married people are happier than singles, though people with children are no happier than childless couples; Republicans are happier than Democrats; people who attend religious services are happier than those who do not; people with college degrees are happier than those without, though people with advanced degrees are less happy than those with just a BA; people with an active sex life are happier than those without; women and men are equally happy, though women have a wider emotional range; having an affair will make you happy but will not compensate for the massive loss of happiness that you will incur when your spouse finds out and leaves you; people are the least happy when they're commuting to work; busy people are happier than those with too little to do; wealthy people are happier than poor ones, but only slightly."
“Money matters but less than we think and not in the way that we think. Family is important. So are friends. Envy is toxic. So is excessive thinking. Beaches are optional. Trust is not. Neither is gratitude.”
Buku ini menarik banget buat saya. :D
The more we get older, the more we wonder about things in life. Sebenarnya agak absurd juga, berusaha mengukur kebahagiaan. Apa benar bahagia itu bisa ditentukan oleh batasan tertentu? Apa iya lokasi geografis negara berperan banyak bagi kebahagiaan masyarakatnya?
Setelah baca, saya punya pendapat sendiri. No, we can't measure happiness. Happiness is totally relative to many other people. Banyak orang bahagia atas hal-hal kecil yang mereka punya, banyak juga orang bahagia atas pencapaian besar yang mereka raih. And no, geographies doesn't really matter in people's happiness, but the relationship between the people does. Hubungan antar masyarakat berperan besar bagi kebahagiaan mereka. Ini terbukti di Islandia, dimana negaranya dinyatakan sebagai salah satu negara paling bahagia, dengan masyarakat yang sangat suka membantu sesama, dan tidak menganggap kegagalan orang lain sebagai suatu hal yang harus ditertawakan atau dipermalukan.
"Hell isn't other people. Seventy percent of our happiness rests on our relationships with other people."
“Our happiness is completely and utterly intertwined with other people:
family and friends and neighbors and the woman you hardly notice who
cleans your office. Happiness is not a noun or verb. It's a
conjunction. Connective tissue.”
Lots of interesting things I learned while reading this book:
- There are actually World Database of Happiness in Netherland! I found it funny that there are actually people who measure up other people's happiness and stored the results somewhere.
- Orang-orang di Belanda termasuk happy, karena negaranya penuh dengan toleransi terhadap aturan. Contohnya dalam hal legalisasi ganja. Ganja yang dianggap legal di banyak tempat, dijual dengan bebas di restauran-restauran Belanda.
- Tapi Swiss yang punya banyak aturan ketat, ternyata justru lebih happy dari Belanda. Orang-orang Swiss punya kebiasaan untuk tidak pamer harta. Menurut mereka, semakin seseorang menunjukkan hartanya, berarti mereka makin tidak mampu. Bisa jadi orang Swiss bahagia karena tidak terobsesi pada harta :)
- Bahwa budaya juga berperan bagi kebahagiaan masyarakat di suatu negara. Di Qatar, walaupun bergelimang harta dari hasil minyak, warganya tidak bahagia. Mereka tidak punya budaya. Mereka tidak terlalu menghargai pendidikan. Tidak ada hal-hal yang ingin mereka raih (karena toh segala kekayaan dunia kini sudah ada dimana-mana di Qatar), jadilah mereka tidak bahagia.
- Dua pelajaran berharga datang dari Asia. Bhutan, yang negaranya kecil dan terpencil, punya indeks kebahagiaan tinggi. Tapi masyarakat mereka tidak suka mempertanyakan "Am I happy?" Atau pertanyaan sejenis itu. They just go out, do their things, enjoy it and be happy. Menurut mereka, semakin kita mempertanyakan, semakin kita merasa kurang.
- Masyarakat Bhutan juga pintar mengukur kemampuan diri sendiri. Sederhananya, mereka sadar diri. They're grateful of what they have right now dan tidak terobsesi untuk selalu 'ngejar' hal-hal yang lebih. Sementara banyak orang di negara lain yang selalu berusaha ingin punya lebih dari apa yang mereka punya sekarang, hingga akhirnya mereka tidak punya waktu untuk bersyukur dan berbahagia.
- Sedangkan di Thailand, mantranya adalah "Mai pen lai." Kalau saya terjemahkan kasar, sih, kurang lebih seperti "Do not overthink." Apa yang terjadi pada mereka, mereka terima tanpa selalu mempertanyakan "Kenapa?" "Why did God give me these things instead of those things?" dan lain sebagainya. Overthink and worrying too much isn't healthy. Acceptance is, on certain things.
- Indeks negara Moldova termasuk yang terburuk dalam hal kebahagiaan, karena masyarakatnya senang sekali membandingkan negara sendiri dengan negara lain. :)
- Amerika, sebuah negara adidaya dan adikuasa yang disegani berbagai negara lain, hidup dalam kemewahan dan keglamoran, hanya berada di urutan ke-23 dalam tingkat kebahagiaan. Menurut Eric Weiner, this is because Americans are restless. Bisa dibilang mereka selalu 'bergerak' setiap waktu (silakan diartikan sendiri), and they don't have any firm roots anywhere. They also never really commit at anything or anyone. "We can't love a place or a person if we always have one foot out the door."
Yang paling menyenangkan dari membaca Geography of Bliss adalah, saya jadi belajar banyak dan tahu banyak tentang sosial dan budaya negara-negara lain! As a social student in high school, these facts does really fascinated me =) Perbedaan-perbedaan dan keunikan cara berpikir masyarakat itu rasanya bikin senang.
Banyak perbedaan-perbedaan yang ditemukan antara hasil riset WDH ataupun pendapat awal Eric Weiner, dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi di negara itu sendiri. Pada akhirnya, segala pertanyaan tentang kebahagiaan tidak benar-benar bisa dijawab dengan pasti. Termasuk apakah geografis itu berpengaruh. Suatu negara yang kecil, miskin dan tidak istimewa bisa saja lebih bahagia daripada negara yang punya segalanya. Satu orang dengan orang lain pun punya tempat kebahagiaan mereka sendiri. Temen saya, misalnya, lebih seneng ketika ada di kampung tempat Nenek-Kakeknya tinggal dibanding di Bogor. Saya sendiri, lebih ngerasa ada di 'rumah' ketika lagi main ke Bandung, padahal di Bandung nggak ada siapa-siapa dari keluarga (Oke ini setengah pengakuan dan setengah curhat =)) Ada orang lain yang merasa lebih aman dan senang hidup di luar negeri, ada yang merasa nyaman di Indonesia. Bahagia itu benar-benar relatif, tergantung cara kita memandangnya dan usaha kita meraihnya. Kebahagiaan pun nggak bisa dipaksakan ada untuk semua orang.
The book was enjoyable, even for me. Sebenarnya ini agak aman, sih, karena masih nyangkut traveling, yang sebenernya saya suka. Dan topiknya juga nggak berat. Banyak ngasih insight dari segi psikologi dan cultural. Banyak juga info-info baru yang saya nggak tahu sebelumnya. Oh, and another plus point, the author is funny, and an open-minded person, so it was really nice to 'see' things changes through his eyes. :)
Terjemahannya, bagaimana? Kalau menurut saya sih, lumayan. Ada beberapa jokes atau humor lokal negara lain yang kurang bisa diinterpretasi dengan jelas dan ada bagian-bagian yang terasa monoton, but overall it was okay. Okay enough for me to read it until the last page, that is.
And to end this review, I will share more lovely quotes from the book:
“Part of positive psychology is about being positive, but sometimes laughter and clowns are not appropriate. Some people don't want to be happy, and that's okay. They want meaningful lives, and those are not always the same as happy lives.”
"It is not the skills we actually have that determine how we feel, but the ones we think we have."
"Tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi. Kebahagiaan seratus persen bersifat relasional."
“Mungkin kebahagiaan sebenarnya adalah: tidak merasa Anda harus berada di suatu tempat lain, melakukan sesuatu yang lain, dan menjadi orang lain.”
- Tirta.
Wah, menarik banget yah,,, saya suka nih buku yg bisa bikin kita bengong2 karena banyak fakta menarik :) thanks for reviewing, moga2 bisa cepet ikut baca buku ini juga hehehe
ReplyDelete*highfive!*
DeleteThank you for reading my review! Hope you'll get your hand on this book soon ^^
Aku udah punya buku ini lebih dari setahun, tapi masih manis di timbunan... x)
ReplyDeleteSekarang udah dibaca belum, Kak Luckty? :D
DeleteReview-nya bagus, mba Tirta... Saya juga suka banget baca buku ini :)
ReplyDeleteThankyou! <3
Delete