January 06, 2014

The Journeys 3 by Alexander Thian, Alfred Pasifico, Alitt Susanto, dkk

The Journeys 3: Yang Melangkah dan Menemukan

oleh Alexander Thian, Alfred Pasifico, Alitt Susanto, Ariev Rahman, Dina DuaRansel, Farid Gaban, Hanny Kusumawaty, Husni M. Zainal, JFlow, Lucia Nancy, Valiant Budi, Ve Handojo, Windy Ariestanty
diterbitkan Desember 2013 oleh Gagas Media
Non-fiksi/Travelogue
382 halaman
selesai dibaca 5 Januari 2013

***

Batas akan tetap menjadi batas, saat tak ada yang benar-benar berani menyeberanginya. Seperti halnya kita menamai utara sebagai utara, karena tak ada yang pernah bertanya kenapa.

Jarak akan tetap menjadi jarak, saat tak ada yang memulai langkah untuk menyudahinya. Kita hanya menduga-duga, sebelah langit mana yang berwarna lebih merah.

Dan, perjalanan hanya akan menjadi perjalanan, saat tak ada yang sudi menceritakan kisah yang menyertanya. Maka, temuilah, lewati batas, tuntaskan jarak. Ceritakan—setidaknya kepada diri sendiri, tentang jawaban yang kita temui.

Inilah kisah perjalanan yang akan membuat kita kembali kepada sesuatu yang paling dekat, sejauh apa pun kita melangkah pergi.


Pada akhirnya, setiap perjalanan yang dilakukan membuat si musafir melakukan ziarah atas dirinya sendiri.


Menziarahi diri sendiri adalah tema yang menjadi benang merah dari seluruh cerita perjalanan dalam The Journeys kali ini. Serius, aku bersyukur banget banyak orang melalui surel maupun Twitter yang (seperti yang dituliskan Mbak Windy di halaman pragagas) menanyakan 'Kapan lagi nih, The Journeys terbit?' The Journeys kali ini udah sampai edisi ketiga dan aku bakalan tetap beli kalau lanjutannya terus ada, sampai edisi keberapapunCerita traveling, ketika dituliskan dalam buku, sedikit banyak bisa membuat yang membacanya untuk merefleksikan kehidupan mereka sendiri. Hal-hal biasa yang mungkin sudah lumrah terjadi di kehidupan sehari-hari kadang jadi tidak biasa kalau terjadinya saat kita berada di tempat orang. Berbeda dengan The Journeys 2 yang fokus pada kisah-kisah dari dalam negeri, kali ini para penulis The Journeys mengajak pembaca ke berbagai tempat, baik di luar maupun dalam negeri: Zambia (Afrika), Selandia Baru, Singapura, Jepang, Wakatobi, India, Vatikan, Hong Kong, Santorini, Sydney, Kediri, dan terakhir ke Ubud, Bali! Wow. List yang menakjubkan untuk jalan-jalan lewat buku hanya dengan biaya kurang dari 100k ;)

Cerita-cerita di dalamnya masih menyentuh, seperti biasa. Gaya penyampaian yang berbeda-beda sesuai khas masing-masing penulis membuat cerita-cerita jadi tidak monoton, dan yang paling terasa dari The Journeys ini adalah humor yang diselipkan di banyak tempat. Ada beberapa kisah yang humornya terasa agak maksa, sih, dan ada satu cerita yang buat saya agak membosankan karena tone-nya datar, tapi secara keseluruhan The Journeys 3 masih tetap sebuah travelogue yang menyenangkan. Dan kalau harus bicara selera, lalu disuruh menyebutkan kisah-kisah favorit saya dari The Journeys 3 ini, maka pilihan saya jatuh pada 4 cerita milik Dina DuaRansel, Hanny Kusumawaty, Alexander Thian, dan Ve Handojo.

Dina dalam ceritanya yang berjudul Don't You Miss Home, Though? berbagi tentang pengalamannya pergi ke Selandia Baru bersama sang suami, Ryan, yang juga partnernya selama traveling. Jujur, saya baru menemukan blog Dina sekitar bulan Desember lalu, dan dari hasil mengintip itulah saya tahu bahwa pasangan ini memutuskan untuk menjual apartemen mereka dan meninggalkan seluruh kehidupan di Kanada untuk berkeliling dunia. Dalam The Journeys 3, Dina menuliskan bahwa banyak yang menanyakan padanya, apa rasanya hidup berpindah-pindah dan tidak punya rumah? Tidak punya satu tempat untuk kembali? Mengunjungi berbagai tempat memang menarik, but don't you miss home, though? Akhirnya, setelah dari Selandia Baru dan mengalami berbagai hal menegangkan seperti longsornya tebing saat mereka sedang berjalan-jalan di sekitar bola batu raksasa Moeraki Boulders, hujan buruk yang bisa saja menyapu mobil mereka jatuh ke tebing, dan mimpi-mimpi aneh selama perjalanan, Dina tahu jawaban akan pertanyaan tersebut.

Di sisi lain, Hanny terkejut akan pernyataan Vagelis, seorang pemilik toko di Fira, Santorini, yang berkata "You're a nice person" padanya hanya karena Hanny menjawab sapaan 'Good morning! Where are you from?' lalu menyempatkan diri untuk ngobrol sebentar dengan Vagelis. Hal yang sama terjadi dengan Adriano, seorang pegawai perusahaan yang menyediakan ATV maupun skuter untuk berkeliling Santorini. Adriano kerap menyapa turis-turis dan pengunjung dengan, 'Hello, how are you?' Nah, dalam banyak kesempatan, turis-turis itu biasanya hanya tersenyum kecil dan berlalu, malas berbasa-basi ataupun menanggapi. Hanny pun saat hari pertama begitu, namun di hari kedua, ia akhirnya menjawab sapaan Adriano. Setelah mengobrol beberapa waktu, Adriano berkata dengan sungguh-sungguh, "Today, you stop and talk. Yesterday, you didn't stop." Entah kenapa, cerita Berhenti Sejenak ini kena banget di aku. Keramahan sekecil apapun selalu menyenangkan jika berbalas, dan perbuatan seremeh menanggapi sapaan dan berhenti sejenak untuk mengobrol dengan penduduk lokal saja akan meninggalkan jejak yang berarti, setidaknya seperti bagi Vagelis dan Adriano dalam kisah ini :)

Alex dalam Pulang ke Pelukan Mama menceritakan pengalaman lucunya pergi ke Hong Kong diam-diam karena ingin memberi surprise bagi sang Mama, meskipun dirinya sendiri tahu bahwa ia adalah orang dengan bakat nyasar yang parah! Setelah dapat arahan dari Shanty tapi nggak nyampe-nyampe juga di hotel yang dituju karena nggak bisa inget petunjuk, dirampok Encim-Encim dengan dalih sumbangan bagi anak-anak tidak mampu, dijutekin cewek Hong Kong yang duduk di sebelahnya di bus, lalu mengetok pintu apartemen yang salah (duh malunya!), akhirnya ia bisa bertemu Mamanya juga dan menyempatkan waktu untuk bercerita banyak tentang kehidupan masing-masing.

Sedangkan Ve Handojo, saat sedang di Sydney demi menonton konser Coldplay, memilih untuk menginap di rumah seorang penduduk lokal bernama Sandra ketimbang di hotel. Tujuannya adalah untuk Slow Traveling, yaitu berbaur, menyapa, dan mengajak ngobrol penduduk lokal untuk merasakan kehidupan ala Sydney yang sebenarnya, bukan jalan-jalan ke tempat-tempat terkenal ataupun landmark-landmark yang biasa dikunjungi turis. Dengan tekadnya tersebut, Ve berhasil tau tempat-tempat yang enak untuk ngopi dan makan di Sydney, seperti Blomwood, Campos Coffee, Bread & Circus, lalu jalan-jalan ke Surry Hills, Marrickville dan Albert Street. Ve sebelumnya juga menuliskan kisah tentang perjuangannya berburu batik di The Journeys 2, namun aku lebih suka ceritanya yang ini.


Usia muda adalah usia yang paling tepat untuk bermimpi dan mengusahakan impian-impian itu untuk menjadi nyata.
- Alitt Susanto, Antara Singapura dan Rumah Mama

Bahagia itu tentang berkenalan dengan rasa cukup. Belajar merasa cukup.
-Windy Ariestanty, Menerjemahkan Bahagia

Nah, selain empat cerita di atas, masih banyak cerita-cerita lain yang sama asyik dan menakjubkannya! Tentang Husni M. Zainal yang menantang bahaya dengan berarung jeram di Sungai Zambezi lalu berenang di tepian air terjun Victoria Falls, Ariev Rahman yang ke Jepang untuk menapaktilasi perjalanan almarhum Ayahnya, Vabyo yang seorang muslim tapi pergi ke Vatikan, Lucia Nancy tentang pengalaman solo travelingnya ke Wakatobi, hingga JFlow yang pergi ke Kediri demi mengunjungi kampung halaman si Ibu. Dengan berbagai kisah yang pas banget buat jadi hiburan di kala senggang, dihiasi dengan berbagai foto yang bikin kita pengen jalan-jalan juga saking breathtaking-nya, The Journeys 3 ini sayang banget untuk dilewatkan ;)



Udah baca The Journeys 3? Udah pernah baca buku-buku traveling lain? What's your favorites? Ada rekomendasi buku tentang traveling yang menurut kamu bagus dan perlu aku baca? Yuk, saling ngobrol dan berbagi! Have fun and read some more!


5 comments:

  1. ini buku yang masuk wishlist saya,. Seru ya kak Tirta?. Saya baru-baru ini baca 99 cahaya di langit eropa, bukunya semi travelling sepertinya. Tapi seru kok kak,..^_^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Buat aku semua buku traveling selalu seru, soalnya bisa 'jalan-jalan' hehehe
      I've been hearing a lot about that book, tapi nggak tau kalo itu ada unsur travelling-nya, kirain murni fiksi. I'll check that one out later, thank you, Mbak :D

      Delete
    2. iya banyak yg ngira 99 cahaya di langit eropa itu fiksi. tapi itu travelling yg dikemas mengalur fiksi. seru kok perjalanannya mba. recomended deh:)

      Delete
  2. Tirta udah pernah baca Life Traveler-nya mbak Windy? Menurutku itu buku traveling yang bagus juga.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudaaaah, aku suka Life Traveler karena banyak 'deep insights'-nya :) Udah lama ngarep Mbak Windy ngeluarin buku solo tentang traveling lagi, hihi, mudah-mudahan....

      Delete

Thank you for reading this post! I always love to share and discuss thoughts about books or simply reading your comments; they are very much appreciated! I will try to reply every one of them so make sure to check back. ❤